“Syukron laka ya Abi… Syukron
laka ya Abii robbaitani wa ro’aitani mundzu shigori. Syauqon laka ya Abi wa
du’aai laka rodhoita minhu” begitu
lirik yang di dendangkan oleh Sulis di dalam sholawatnya yang kurang lebih artinya
“Terimkasih wahai ayahku… terimakasih wahai ayah , kau telah mendidikku dan
menjagaku dari masa kecilku. Rinduku kepadamu wahai ayah dan do’aku agar kau di
Ridhoi oleh-Nya”. Izzzayyak ya abuya? Ah, mana mungkin abiku paham
bahasa mesir. Semoga getaran rindu ini samoai kepada kedua orangtuaku yang
tahun ini akan melaksanakan haji. Allahummaj’alhuma Hajjan Mabruuron… Amin.
Musim dingin mulai menampakkan
batang hidungnya secara perlahan, awan mulai mulai berkejaran, begitupun angin
mulai terkadang mengelus tubuhku dengan angin sepoi segar. Tepat tanggal 29
September 2012 adalah hari genapnya setahun aku di negeri ‘imadul islam, perubahan
sudah mulai Nampak dari fisikku yang bertambah beratnya, tumbuh beberapa helai
jenggot di daguku, bahkan baju dan celanaku yang kubawa dari Indonesia tahun
lalu sekarang sudah kependekkan, hanya beberapa saja yang muat. Alhamdulillah
pula, aku sudah bisa mulai membuka mulut dengan orang mesir, yang tahun lalu
begitu ghorib mendengarkan bahasa mesir, sudah bisa beradaptasi dengan
tantangan mesir, mulai dari hembusan hawa panas yang mencapai empat puluh lima
derajat, menunggu bis yang terkadang bisa sampai setengah jam, berdesak-desakan
di bis bahkan bertengkar dengan orang mesirpun pernah terjadi. Unik memang tapi
begitulah kenyataannya. Benarlah dawuh Alm. KH. Abdurrahman Wahid “Bukanlah
al-Azhar yang membuat aku cerdas tapi mesirlah yang membuat aku cerdas” Artinya
emosional question, spiritual question benar-benar terlatih di mesir. Seseorang
yang tinggal di keadaan yang aman dan nyaman, maka berhentilah berpikir sehinga
tidak mampu lagi menemukan ide-ide baru.
Fabiayyi aala irobbikuma tukadzzibaan… Maka nikmat tuhan yang manakah yang engkau dustakan?
“Calon menantu terbaik di dunia adalah lulusan al-Azhar” terlihat menggelitik postingan status facebook salah satu kawanku yang notabenenya mahasiswa al-azhar, memang terlihat rasis tapi begitulah kenyataannya. Bagaimana tidak. Karakter kemandirian seseorang benar-benar teruji di mesir, mau makan ya masak sendiri, mau nyuci ya nyuci sendiri benar-benar system nafs- nafsi, ente mau hidup dan mau bisa ya berusalah sendiri!!!. Hehee… baru setahun di negeri kinanah, sudah mulai berbicara ke titik pernikahan . tak apalah, mempersiapkan keluarga Samara di negeri orang lain.
Fabiayyi aala irobbikuma tukadzzibaan… Maka nikmat tuhan yang manakah yang engkau dustakan?
“Calon menantu terbaik di dunia adalah lulusan al-Azhar” terlihat menggelitik postingan status facebook salah satu kawanku yang notabenenya mahasiswa al-azhar, memang terlihat rasis tapi begitulah kenyataannya. Bagaimana tidak. Karakter kemandirian seseorang benar-benar teruji di mesir, mau makan ya masak sendiri, mau nyuci ya nyuci sendiri benar-benar system nafs- nafsi, ente mau hidup dan mau bisa ya berusalah sendiri!!!. Hehee… baru setahun di negeri kinanah, sudah mulai berbicara ke titik pernikahan . tak apalah, mempersiapkan keluarga Samara di negeri orang lain.
Jujur, banyak sekali hikmah yang
tersembunyi baik tersurat dan tersirat di negeri orang mancung ini, selama
setahun di mesir hatiku selalu terketuk, pikiranku selalu tergugah, dan
jasmanikupun beraksi dengan kenyataan yang kuterima dan kulihat sendiri dengan
mata kepalaku sendiri. Sungguh menggugah kesadaran alam bawah sadarku. Terekam
jelas, bagaimana perjuangan ulama-ulama terdahulu di dalam mendalami suatu
ilmu, para ulama mengerahkan pikiran, tenaga , dan harta secara kaffah sehingga
terciptalah daya tarik menarik antara ilmu dan tholib al-‘ilm. Talaqqi
di galakkan, Tahfidz al-qur’an di ketatkan, Membaca di sadarkan sebagai
kebutuhan bukanlah hanya sekedar hobi semata. Mahasiswa al-Azhar yang
tinggalnya di hay ‘asyir butuh waktu lebih kurang 45 menit untuk bisa
sampai ke al-Azhar, waktu yang lumayan lama itu terkadang di gunakan untuk
membaca al-Qur’an, mengulangi diktat yang telah di pelajari,ada pula yang
menggunakannya untuk menghafal apa yang perlu di hafal. Dari sebuah
perjalananlah terasa cinta akan waktu tumbuh dan benar-benar mendarah daging di
dalam setiap diri para masisir, bukankah ini membuat cerdas di dalam
memanfaatkan waktu?
Di sebuah pojok bangku nomer dua di
sebuah kelas dirosah khossoh ada seorang lelaki berpeci putih khas
Negara melayu, berperawakan agak pendek, terlihat uban putih yang bersatu
dengan rambut hitam yang semakin tak terlihat jelas hitamnya, berkacamata agak
tebal, bila boleh kutebak umurnya kebih dari 40 tahun. ku dekati dan kududuk
tepat didepannya, bangku nomer satu bersama kawanku sebangsa denganku. Betapa ‘azamnya
mencari ilmu ALLAH begitu besar, walau bermodal bahasa arab yang bisa dikatakan
pas-pasan tapi Subhanallah… tak ada rasa malu sama sekali beliau bertanya
kepada yang lebih muda dari beliau. Bahkan terkadang aku merasa malu, beliau
lebih tepat waktu datang ke kelas di bandingkan aku yang masih muda. Walaupun
memang ada sebab yang terkadang membuatku telat masuk kelas. Robbana Maa
Kholaqta Hadzaa Bathiila…
Setahun aku tinggal di gamik hay
al-‘Asyir tempat paling strategis bagi para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir)
bagiku gamik adalah surganya cairo, tempat-tempat kajian keilmuan,
Organisasi-organisasipun ada di gamik, restoran Indonesia bertempat di gamik,
dekat dengan tempat perbelanjaan, terletak di tengah-tengah kota kairo.
Bersyukurlah bisa di tempatkan munzalan mubaaroka. Sungguh, dengan adanya aku
di surga semoga bertambah rasa syukurku dan himmahku mencari ilmu ALLAH.
Amiin..
Tidakkah kau saksikan aliran sungai
Nil? Tempat di mana nabi Musa dahulu di hanyutkan, sehingga di berkatilah kau
sungai Nil telah di jadikan sebagai penyelamat nabi. Berbahagialah kau sungai
Nil pernah surut kering, sehingga turunlah titah dari umar untukmu agar kembali
kau mengalir seperti semula, di berkatilah kau sungai Nil pernah di sentuh oleh
selendang sayyidah nafisah agar kau kembali mengalir normal, tidak meluap-luap.
Begitulah sejarah sungai Nil yang terpancar berkahnya., bahkan orang-orang
mesir enggan membuat rumahnya membelakangi sungai Nil sebagai tanda
penghormatan kepada Nil. Hadza min fadhli robbi… .kurenungkan kembali
sejauh mana aku berjalan di negeri para nabi ini, sambil memandang sungai Nil
yang menjadi saksi bisu sejarah peradaban, dan tenyata benar, selain cerdas di
dalam akademik, manusia di tuntut cerdas di dalam sosilaisasi. Pintar bukanlah
sebuah jaminan di dalam mencapai puncak kesuksesan, tapi seberapa besar
kepintaran itu benar-benar mengalir dan bermanfaat di lubuk setiap insan.
Kenyamanan akan membentuk karakter yang tak bergerak dan menggerakan, tapi
dengan adanya tantangan, manusia akan berkembang dan semakin cermat melawan
zaman, karena manusia sudah di setting jiwa dan otaknya sebagai kubangan
penampung untuk di alirkan di setiap gemulai zamannya. Berjuta sel otak
berkembang setiap harinya bagi yang memulai mengikuti rupa lekuk zaman, karena
waktu mengajak berpikir dan jiwapun mulai terangsang alat pekanya untuk
bertindak secara gamblang.Dan disinilah di Mesir, alam rimba terbuas paling alami di dunia di dalam menantang zaman,
dengan al-Azhar sebagai tiang Islamnya dan mesir tempat pembentukan karakter
rabbaninya. Masihkah kau menganggap al-Azhar tidak membuatmu cerdas?
Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa
rizqon waasi’an wa ‘amalan mutaqobbala…
Tebuireng
Kairo, 1 Oktober 2012.
0 komentar:
Posting Komentar