Senin, 04 Februari 2013

Al-Azhar Mesir tidak membuatku cerdas



“Syukron laka ya Abi… Syukron laka ya Abii robbaitani wa ro’aitani mundzu shigori. Syauqon laka ya Abi wa du’aai laka rodhoita minhu”  begitu lirik yang di dendangkan oleh Sulis di dalam sholawatnya yang kurang lebih artinya “Terimkasih wahai ayahku… terimakasih wahai ayah , kau telah mendidikku dan menjagaku dari masa kecilku. Rinduku kepadamu wahai ayah dan do’aku agar kau di Ridhoi oleh-Nya”. Izzzayyak ya abuya? Ah, mana mungkin abiku paham bahasa mesir. Semoga getaran rindu ini samoai kepada kedua orangtuaku yang tahun ini akan melaksanakan haji. Allahummaj’alhuma Hajjan Mabruuron… Amin.
Musim dingin mulai menampakkan batang hidungnya secara perlahan, awan mulai mulai berkejaran, begitupun angin mulai terkadang mengelus tubuhku dengan angin sepoi segar. Tepat tanggal 29 September 2012 adalah hari genapnya setahun aku di negeri ‘imadul islam, perubahan sudah mulai Nampak dari fisikku yang bertambah beratnya, tumbuh beberapa helai jenggot di daguku, bahkan baju dan celanaku yang kubawa dari Indonesia tahun lalu sekarang sudah kependekkan, hanya beberapa saja yang muat. Alhamdulillah pula, aku sudah bisa mulai membuka mulut dengan orang mesir, yang tahun lalu begitu ghorib mendengarkan bahasa mesir, sudah bisa beradaptasi dengan tantangan mesir, mulai dari hembusan hawa panas yang mencapai empat puluh lima derajat, menunggu bis yang terkadang bisa sampai setengah jam, berdesak-desakan di bis bahkan bertengkar dengan orang mesirpun pernah terjadi. Unik memang tapi begitulah kenyataannya. Benarlah dawuh Alm. KH. Abdurrahman Wahid “Bukanlah al-Azhar yang membuat aku cerdas tapi mesirlah yang membuat aku cerdas” Artinya emosional question, spiritual question benar-benar terlatih di mesir. Seseorang yang tinggal di keadaan yang aman dan nyaman, maka berhentilah berpikir sehinga tidak mampu lagi menemukan ide-ide baru.
Fabiayyi aala irobbikuma tukadzzibaan… Maka nikmat tuhan yang manakah yang engkau dustakan?

                “Calon menantu terbaik di dunia adalah lulusan al-Azhar” terlihat menggelitik postingan status facebook salah satu kawanku yang notabenenya mahasiswa al-azhar, memang terlihat rasis tapi begitulah kenyataannya. Bagaimana tidak. Karakter kemandirian seseorang benar-benar teruji di mesir, mau makan ya masak sendiri, mau nyuci ya nyuci  sendiri benar-benar system nafs- nafsi, ente mau hidup dan mau bisa ya berusalah sendiri!!!. Hehee… baru setahun di negeri kinanah, sudah mulai berbicara ke titik pernikahan . tak apalah, mempersiapkan keluarga Samara di negeri orang lain.
Jujur, banyak sekali hikmah yang tersembunyi baik tersurat dan tersirat di negeri orang mancung ini, selama setahun di mesir hatiku selalu terketuk, pikiranku selalu tergugah, dan jasmanikupun beraksi dengan kenyataan yang kuterima dan kulihat sendiri dengan mata kepalaku sendiri. Sungguh menggugah kesadaran alam bawah sadarku. Terekam jelas, bagaimana perjuangan ulama-ulama terdahulu di dalam mendalami suatu ilmu, para ulama mengerahkan pikiran, tenaga , dan harta secara kaffah sehingga terciptalah daya tarik menarik antara ilmu dan tholib al-‘ilm. Talaqqi di galakkan, Tahfidz al-qur’an di ketatkan, Membaca di sadarkan sebagai kebutuhan bukanlah hanya sekedar hobi semata. Mahasiswa al-Azhar yang tinggalnya di hay ‘asyir butuh waktu lebih kurang 45 menit untuk bisa sampai ke al-Azhar, waktu yang lumayan lama itu terkadang di gunakan untuk membaca al-Qur’an, mengulangi diktat yang telah di pelajari,ada pula yang menggunakannya untuk menghafal apa yang perlu di hafal. Dari sebuah perjalananlah terasa cinta akan waktu tumbuh dan benar-benar mendarah daging di dalam setiap diri para masisir, bukankah ini membuat cerdas di dalam memanfaatkan waktu?
Di sebuah pojok bangku nomer dua di sebuah kelas dirosah khossoh ada seorang lelaki berpeci putih khas Negara melayu, berperawakan agak pendek, terlihat uban putih yang bersatu dengan rambut hitam yang semakin tak terlihat jelas hitamnya, berkacamata agak tebal, bila boleh kutebak umurnya kebih dari 40 tahun. ku dekati dan kududuk tepat didepannya, bangku nomer satu bersama kawanku sebangsa denganku. Betapa ‘azamnya mencari ilmu ALLAH begitu besar, walau bermodal bahasa arab yang bisa dikatakan pas-pasan tapi Subhanallah… tak ada rasa malu sama sekali beliau bertanya kepada yang lebih muda dari beliau. Bahkan terkadang aku merasa malu, beliau lebih tepat waktu datang ke kelas di bandingkan aku yang masih muda. Walaupun memang ada sebab yang terkadang membuatku telat masuk kelas. Robbana Maa Kholaqta Hadzaa Bathiila…
Setahun aku tinggal di gamik hay al-‘Asyir tempat paling strategis bagi para Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir) bagiku gamik adalah surganya cairo, tempat-tempat kajian keilmuan, Organisasi-organisasipun ada di gamik, restoran Indonesia bertempat di gamik, dekat dengan tempat perbelanjaan, terletak di tengah-tengah kota kairo. Bersyukurlah bisa di tempatkan munzalan mubaaroka. Sungguh, dengan adanya aku di surga semoga bertambah rasa syukurku dan himmahku mencari ilmu ALLAH. Amiin..
Tidakkah kau saksikan aliran sungai Nil? Tempat di mana nabi Musa dahulu di hanyutkan, sehingga di berkatilah kau sungai Nil telah di jadikan sebagai penyelamat nabi. Berbahagialah kau sungai Nil pernah surut kering, sehingga turunlah titah dari umar untukmu agar kembali kau mengalir seperti semula, di berkatilah kau sungai Nil pernah di sentuh oleh selendang sayyidah nafisah agar kau kembali mengalir normal, tidak meluap-luap. Begitulah sejarah sungai Nil yang terpancar berkahnya., bahkan orang-orang mesir enggan membuat rumahnya membelakangi sungai Nil sebagai tanda penghormatan kepada Nil. Hadza min fadhli robbi… .kurenungkan kembali sejauh mana aku berjalan di negeri para nabi ini, sambil memandang sungai Nil yang menjadi saksi bisu sejarah peradaban, dan tenyata benar, selain cerdas di dalam akademik, manusia di tuntut cerdas di dalam sosilaisasi. Pintar bukanlah sebuah jaminan di dalam mencapai puncak kesuksesan, tapi seberapa besar kepintaran itu benar-benar mengalir dan bermanfaat di lubuk setiap insan. Kenyamanan akan membentuk karakter yang tak bergerak dan menggerakan, tapi dengan adanya tantangan, manusia akan berkembang dan semakin cermat melawan zaman, karena manusia sudah di setting jiwa dan otaknya sebagai kubangan penampung untuk di alirkan di setiap gemulai zamannya. Berjuta sel otak berkembang setiap harinya bagi yang memulai mengikuti rupa lekuk zaman, karena waktu mengajak berpikir dan jiwapun mulai terangsang alat pekanya untuk bertindak secara gamblang.Dan disinilah di Mesir, alam rimba terbuas  paling alami di dunia di dalam menantang zaman, dengan al-Azhar sebagai tiang Islamnya dan mesir tempat pembentukan karakter rabbaninya. Masihkah kau menganggap al-Azhar tidak membuatmu cerdas?
 Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqon waasi’an wa ‘amalan mutaqobbala…


                                                                                                Tebuireng Kairo, 1 Oktober 2012.

0 komentar: